Bonus Demografi atau Ancaman Depopulasi?
Indonesia diperkirakan akan menghadapi era bonus demografi beberapa tahun kedepan, tepatnya tahun 2023 hingga 2040 mendatang. Indonesia pun berencana menjadikan momentum bonus demografi tersebut sebagai kesempatan emas untuk menjadi negara maju. Salah satu tujuannya adalah untuk keluar dari middle income trap atau jebakan negara dengan pendapatan menengah sebagaimana yang sudah terjadi Korea Selatan. Mengingat, Indonesia hanya memiliki waktu 13 tahun.
Menteri Koordinator bidang perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa “Indonesia harus memanfaatkan bonus demografi se-optimal mungkin agar mampu keluar dari middle income trap. ” Tujuan akhirnya tentu menempatkan Indonesia di 5 besar negara dengan PDB terbesar di dunia sesuai dengan visi Indonesia emas 2045. Namun, upaya menuju Indonesia maju menuntut adanya dukungan SDM produktif dalam jumlah besar. Hal ini dilakukan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang besar. Pemerintah pun mempersiapkan lapangan pekerjaan dan membuka keran investasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Peningkatan kualitas SDM pun digenjot pemerintah melalui kurikulum pendidikan. Diantaranya, kurikulum MBKM yang berorientasi kerja. Kini di dalam kurikulum tersebut, tersedia program MSIB (magang studi independen bersertifikat) yang memfasilitasi puluhan ribu mahasiswa untuk memperoleh pengalaman kerja di industri dan mempelajari berbagai kompetensi yang relevan.
Namun, di tengah geliat pemerintah menuju Indonesia maju ini justru ada ancaman de-populasi di depan mata. Pasalnya, banyak dari kalangan pemuda saat ini enggan menikah. Dari 65,82 juta jiwa penduduk Indonesia yang berkategori pemuda sebanyak 64,56% masih berstatus lajang (data BPS 2022). Porsi ini naik tajam sebesar 10,39% dalam satu dekade terakhir. Mengapa dalam sistem kapitalisme saat ini depopulasi menjadi menjadi ancaman? Apakah depopulasi akan teratasi dengan peningkatan kualitas SDM melalui program-program yang dicanangkan hari ini? Bagaimana gambaran Islam untuk meningkatkan kualitas generasi sehingga bisa menjadi negara maju?
Pendidikan Ala Oligarki
Dialektika antara power for money – money for power. Pak Ismail Yusanto berkata bahwa “Kenapa sih orang berkuasa? untuk dapat duit. Kenapa orang butuh duit? diantaranya untuk berkuasa. Kalau ingin kuasanya lebih tinggi, duitnya harus lebih banyak. Dengan kuasa itulah kemudian mencetak duit. Dengan duit yang lebih banyak, kuasanya lebih besar. Terus begitu sampai diujung.” Karena itulah simbiosis antara penguasa dan pengusaha itu memang selalu terjadi. Di dalam Alquran digambarkan kolaborasi antara Firaun sebagai penguasa dengan Qorun sebagai pengusaha. Disana ada sebagai alat legitimasinya, ada cendekiawan tukang bayaran/‘cendekiawan pelacur’. Itukan sebagai alat legitimasi untuk memberikan jalan kolaborasi bagi penguasa dan pengusaha.
Tapi, dalam perkembangannya seiring berjalannya waktu mereka berpikir bahwa itu butuh waktu. Sehingga pengusahanya jadi penguasa, penguasanya jadi pengusaha. Jadi, dalam satu diri ceritanya. Ini faktanya sekira seperti di negeri kita. Ini adalah suatu gejala yang sangat berbahaya. Jadi, kalau kita ingin menunjuk apa ancaman terbesar di negara kita adalah diantaranya adalah kuasa oligarki yang makin besar. Apa bahaya?
Pertama, kalau kita bicara tentang regulasi peraturan perundangan dan turunannya, mestinya didalam teori itukan peraturan perundangan dibuat untuk menata negara ini menjadi lebih baik. Kalau bicara ekonomi, ekonomi yang lebih mensejahterakan, lebih berkeadilan segala macam. Tetapi jika oligarki bermain disitu, menghegemoni atau mendominasi maka peraturan perundangan itu tidak lahir untuk kepentingan (rakyat) itu tapi untuk kepentingan mereka. Apa contohnya di negeri ini? UU Minerba tahun 2020 itu mengganti UU Minerba tahun 2009.
Pertanyaannya sekarang, kenapa diganti? Apakah UU Minerba tahun 2009 tidak pro rakyat? Justru UU Minerba tahun 2009 mengatakan bahwa 380 ribu hektar eks PKB2B yang dikuasai oleh 7 perusahaan asing dikembalikan kepada negara jika sudah habis masa kontraknya. Nah UU Minerba tahun 2020 malah diberikan kepastian untuk melakukan perpanjangan setelah habis masa kontrak. Ini menunjukkan bahwa oligarki itu sangat berbahaya, mereka bermain pada level yang sangat fundamental yaitu lahirnya peraturan perundang-undangan. Pada level kebijakan, kuasa (kekuasaan) melekat didalamnya kewenangan. Kewenangan itu dalam teori dipakai mestinya untuk kepentingan rakyat. Tapi, ketika oligarki berkuasa maka kewenangan itu akan dipakai untuk kepentingan oligarki itu sendiri.Sebagai contoh: apa sebagus itu misalnya keputusan untuk menggunakan mobil listrik? Dalam hal ini kalau dalam ajaran Agama kita khuznusan (berprasangka baik), tapi dalam hal ini pada konteks oligarki ya, kita harus zuudshan (berprasangka buruk). Ada apa dibalik itu? Importirnya siapa, yang menyediakan baterainya siapa, menguasai nikelnya siapa? pokoknya segala macam.
Mestinya kita harus waspada dalam hal ini. Karena kemudian apa yang dikatakan “kedaulatan rakyat” dalam teori demokrasi bahwa wakil-wakil rakyat itu duduk di parlemen untuk bekerja bagi rakyat yang diwakilinya itu sekarang menjadi semakin jauh dari realitas. Mengapa? Karena mereka itu pada kenyataan bisa duduk disitu karena bantuan oligarki, baik oligarki pemilik modal maupun oligarki politik. Kalau sekarang menjadi satu, ya penguasa pemilik modal itu. Maka bukan hanya anggota parlemen, partai pun bisa dibeli. Ketika kekuatan finansial itu makin besar, sekarang ini kekuatan finansial oligarki begitu besar sekali. Keadilan hukum semakin jauh.
Di level yang paling dasar, menumbuhkan kesadaran. Kesadaran itu ada 2 yakni kesadaran intelektual dan kesadaran faktual. Buat mereka yang terpelajar ada literasi, mahasiswa, para sarjana segala macam kesadaran intelektual bisa dibangun. Tapi, untuk masyarakat awam pada umumnya, kesadaran faktual ini perlu dibangkitkan seperti bagaimana menyikapi fakta yang terjadi ditengah masyarakat akibat efek dari kebijakan yang hanya menguntungkan oligarki.
Ada perlawanan yang sifatnya individual (personal peraktikal), tapi penting juga untuk membentuk perlawanan yang bersifat komunal struktural. Artinya para oligarki itu lahir dari sebuah tatanan kapitalistik. Kalau oligarki itu lahir dari sistem kapitalis, berarti ada lingkungan yang melahirkan itu. Makanya kemudian rakyat mesti diajak berpikir jangan hanya sekedar menyalahkan oligarki. Tapi, lingkungan yang yang melahirkan itu juga harus dikeritisi. Kemudian diajak berpikir juga, kira-kira lingkungan apa atau tatanan apa yang memungkinkan untuk tidak lahir oligarki. Nah, disitu ada gagasan-gagasan alternatif yang bisa tumbuh ditengah masyarakat ditengah kritisisme yang muncul dari kesadaran intelektual dan kesadaran faktual tadi. Hanya memang penting untuk dibuka, namun yang sekarang terjadi peluang itu memang sengaja ditutup oleh penguasa oligarki.
Islam Sebagai Basis Pendidikan
Dalam perspektif pendidikan Islam adalah sebuah upaya yang sistematis, terstruktur untuk membawa anak atau peserta study menjadi manusia-manusia yang setidaknya memiliki 3 kompetensi atau karakter sekaligus. Pertama, bersyaksiyah Islam atau berkepribadian Islam yang tampak dari cara berpikir atau berperilakunya berdasarkan pada ajaran Islam. Kedua menguasai tsaqofah Islam, diantaranya yang paling sederhana adalah kemampuan untuk membaca Alquran, memahami fiqih tentang ibadah, makanan, minuman, pakaian, akhlak dan sebagainya. Kemudian yang ketiga yaitu menguasai ilmu kehidupan didalamnya ada sains dan teknologi.
Jika kita menggunakan tolok ukur ini, lebih jauh lagi dari harapan. Karena kita lihat misalnya, dari sisi kepribadian Islam ada banyak siswa yang ini hari itu perilakunya jauh dari ajaran Islam. Pergaulan bebas, bahkan sekarang sekarang kita dengar ada bulliying sampai pada kekerasan yang merenggut nyawa. Kalau itu dilakukan secara massal seperti tawuran, kemudian cara berpikirnya juga. Disamping ini hari kita bicara tentang tsaqofah angka resmi yang dikeluarkan oleh BPS menyebut lebih dari 50% muslim di Indonesia itu tidak bisa membaca Alquran. Survey di beberapa kota besar itu angka buta huruf Alquran itu juga lebih tinggi lagi 60-70%.
Ini menunjukkan kegagalan jika kita nilai dari sudut pandang Islam. Bagaimana bisa anak yang sudah sekolah sekian lamanya SD 6 tahun, SMP-SMA 6 tahun. 12 tahun diujung ia sekolah di SMA itu tidak bisa juga membaca Alquran. Berarti, menunjukkan pendidikan tidak memperhatikan itu. Sederhananya kan kenapa ia tidak bisa membaca Alquran karena tidak diajari di sekolah. Kenapa tidak diajari, karena tidak masuk kurikulum. Kenapa tidak masuk kurikulum karena dianggap tidak penting. Kenapa dianggap tidak penting kembali kepada perspektif pendidikan tadi itu. Falsafah pendidikan bahkan kepada politik pendidikan dan ideologi pendidikan.
Di dalam Alquran itu ada satu sebutan yang itu bisa memberikan gambaran tentang sosok manusia yang ideal. Namanya ulil albaab. Ulil Albaab itu apa? Digambarkan orang yang seimbang didalam dzikir dan pikirnya. (lihat QS.Ali Imron). Jadi, orang yang dzikir dalam seluruh keadaan ketika ia berdiri, duduk maupun baring, dan ia memikirkan penciptaan alam semesta ini. Disitulah sains dan teknologi sebagai hasil dari pikir bertemu dengan dzikir yang itu merupakan buah dari tauhid. Karena maka, Islam tidak akan pernah mengalami dikotomi antara ilmu dunia-ilmu akherat, ilmu umum-ilmu Agama, ilmu staqofah-sains dan teknologi.
]Dalam sejarah peradaban Islam itu semua bisa dibuktikan. Al-Khawarizmi itu yang dianggap sebagai penemu angka 0 (nol) dari sana berkembang ilmu teknologi digitasi yang karena kemudian Mark penemu facebook itu sangat kagum terhadap Al-Khawarizmi. Eropa kemudian melafadzkan menjadi Algoritems, masuk ke Indonesia menjadi Algoritma itu adalah seorang ulama sekaligus seorang matematikawan. Al Qindi ulama sekaligus seorang saintis, begitu juga dengan Ibnu Hayyan, Al Jabbar, Ibnu Sina, Al Farabi ahli musik sekaligus ulama.
Jadi, sosok ulil albaab itulah sebenarnya yang dituju atau yang ingin dicapai di dalam pendidikan dalam perspektif Islam. Sesuatu yang tidak dikenal dalam dunia barat. Kalaupun dunia barat dianggap maju pendidikannya, itupun hanya pada sisi pikir saja. Kejayaan pendidikan dalam dunia Islam adalah sesuatu hal yang pernah terjadi, dam hal itu bukan sebuah utopis untuk mewujudkannya dan bisa diraih kembali. Dan itu sekarang sudah mulai sebenarnya ada banyak sekali ilmuwan-ilmuwan muslim dunia Islam dari Palestina misalnya, yang kemudian bekerja di dunia barat, pusat-pusat ekologi. Mereka muslim, tetapi oleh karena tidak punya tempat di dunia Islam untuk pengembangan teknologi ia di luar.
Sudah seharusnya kaum muslimin menjadikan Islam sebagai basis pendidikannya sehingga apa yang kita inginkan menjadi muslim yang bertaqwa sekaligus menjadi muslim yang menguasai sains dan teknologi. Itu pernah terjadi sepanjang masa kejayaan kekhilafahan Islam dimana penemuan-penemuan teknologi terjadi di dunia Islam sekaligus berbasiskan pada aqidah dan syariah. Kuncinya kita kembali kepada Islam. Allahu Akbar……wallahu alam.
Oleh: Andi Muhammad S. Fathori (al-fatih)
Tinggalkan Komentar